Militerisme, Dwi Fungsi ABRI dan Revisi UU TNI

Militerisme, Dwi Fungsi ABRI dan Revisi UU TNI
Oleh : Decky Hertonal, S.H.

Jika kita ingin mengetahui tentang militerisme, paling tidak dalam konteks indonesia maka mungkin kita dapat mengingat kembali kondisi Indonesia dalam beberapa dekade yang lampau, bagaimana begitu kuatnya pengaruh militer dalam sendi-sendi sosial masyarakat Indonesia. Pasca jatuhnya Presiden Seokarno dari kursi kekuasaannya dalam peristiwa G30S Tahun 1965, sebagai tawaran dari Jendral A Yani untuk Orde Baru maka disusunlah sebuah pedoman “Jalan Tengah” yang kemuduian dikenal cikal bakal Dwi Fungsi ABRI

Militerisme sebenarnya “barang lama” yang diambil dan di adopsi sesuai dengan kebutuhan, sebab militerisme adalah pola sosial yang terbentuk dari dominasi institusi, dominasi nilai dan logika militer dalam kehidupan sipil dan politik yang tentu saja mengorbankan nilai individu dan hak individu demi “Kepentingan Umum”

Sejalan dengan itu dengan melihat kacamata paling sederhana bahwa Dwi fungsi ABRI adalah pengewajantahan nilai dan doktrin  dari militerisme dengan cita rasa Indonesia, dimana waktu itu TNI dan Kepolisian itu masih dalam satu wadah yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kelihatan jelas dalam peran dengan dua fungsi ABRI waktu itu, yaitu fungsi pertahanan dan keamanan, serta fungsi Sosial Politik.

Pada akhirnya sejarah mengajarkan kita bahwa dominasi militer di indonesia sangat besar di hampir semua lini kehidupan masyarakat. Reformasi 1998-lah yang kemudian mengakhiri secara formal Militerisme dan Dwi Fungsi ABRI, meskipun sebenarnya kita belum selesai dengan dua hal tersebut.

Belum juga kita benar benar selesai dengan Militerisme dan Dwi fungsi ABRI justru kita di kejutkan dengan Revisi UU TNI, bagaimana mungkin tidak mengagetkan dan  mencederai logika, jika awalnya Revisi UU TNI tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025.

Berawal dari surat Presiden (Surpres) dan pada tanggal 7 Februari 2025  dari kementerian Pertahanan mengirimkan surat kepada Ketua Komisi I DPR untuk mengagendakan pembahasan RUU TNI dan dimasukan dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025.

Meski banyak penolakan dari masyarakat, kelompok masyarakat sipil, para pakar dan bahkan menuai kontrovesi, revisi UU TNI tetap saja Gass Full dan bertempat di Hotel Fairmont pada tanggal 19 Maret 2025 semua Fraksi yang berjumlah 8 (Delapan) Fraksi di DPR menyetujui RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang dan sesuai rencana yaitu hari ini tanggal 20 Maret 2025.

Apa yang di harapkan dari Militer menduduki jabatan sipil? Bukan main-main, lima belas (15) posisi dalam Kementrian maupun Lembaga terbuka untuk di oleh duduki militer hal ini tertuang sangat jelas dalam revisi Undang Undang TNI, bahwa entah prajurit aktif maupun yang tidak aktif tetap dapat menduduki jabatan dalam Kementrian dan Lembaga karena kehendak Presiden, sangat ironi sekali, saat mereka tidak terbiasa dengan perdebatan-perdebatan dalam pengambilan keputusan dalam instansi pemerintah untuk menghasilkan sebuah keputusan, tidak terbiasa dengan budaya Civil Socity justru mereka diberi ruang seluas luasanya. Apakah kita benar-benar kekurangan Sumber Daya  Manusia, kekurangan orang terpelajar, kekurangan ahli? sehingga kita butuh bantuan dari prajurit.

Tidak perlu merasakan sepatu Laras melekat di pipi, tidak perlu jidat kita di beri stempel “PKI” untuk menjadi sadar, bahwa apapun itu, yang mengatasnamakan militer berbahaya bagi demokrasi dan tidak sesuai cita-cita Reformasi.

 

Dhecky Hertonal, S.H.
Senior GMKI Kendari/Sekfung Akspel GMKI Kendari 2015-2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *